Salam semua rakan2 HB... maaf lama sik blogging.
Dalam
daurah minggu ni, bulatan HB ada terlibat dalam daurah Usul 20 dan ada
membincangkan mengenai Al Mashalih Al Mursalah, maka memudahkan lagi
Sahabat HB dab rakan bulatan gembira Kota Samarahan memahami apa itu
mashalih mursalah mungkin posting ini dapat membantu. Insya Allah.
Mengenal Al-Mashalih Al-Mursalah
A. Pengertian al-Mashalih al-Mursalah
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, al-mashalih al-mursalah (المصالح المرسلة) terdiri dari dua kata, yaitu al-mashalih (المصالح) dan al-mursalah (المرسلة). Al-mashalih berposisi sebagai kata yang disifati (الموصوف), dan al-mursalah berposisi sebagai kata sifat (الصفة).
Al-mashalih merupakan jama’ taksir dari kata al-mashlahah (المصلحة). Al-mashlahah sendiri merupakan bentuk mashdar mimi dari kata shalaha – yashluhu (صلح – يصلح), dan mempunyai makna yang sama dengan kata ash-shalah (الصلاح) yaitu ضد الفساد (lawan dari kerusakan).(1)
Sedangkan kata al-Mursalah (المرسلة) merupakan isim maf’ul dari kata arsala – yursilu (ارسل – يرسل), yang berarti المطلقة (yang tidak terikat).(2)
Bisa disimpulkan, secara bahasa al-mashalih al-marsalah berarti ‘kemaslahatan yang tidak terikat’.
2. Secara Istilah
Secara istilah, ada beberapa definisi al-mashalih al-mursalah atau al-mashlahah al-mursalah yang dikemukakan oleh para ulama. Berikut beberapa di antaranya:
Imam al-Ghazali mendefinisikannya dengan
“(maslahat) yang tidak ada nash khusus yang ditunjukkan oleh syari’at
tentang pembatalan atau penetapannya.”(3)
Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf
mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak disyari’atkan oleh pembuat
syari’at ketetapan hukum untuk pelaksanaannya, dan tidak ditunjukkan
penetapan ataupun pembatalannya oleh dalil syar’i .”(4)
Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya
dengan “sifat-sifat yang sesuai dengan tindakan dan tujuan pembuat
syari’at, tetapi tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau
membatalkannya, dan dengan penetapan hukum dari sifat-sifat tersebut
akan tercapai kemaslahatan dan terhindar kerusakan pada manusia.”(5)
Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah
mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak terdapat dalil khusus
tentangnya dari pembuat Syari’at, baik yang menunjukkan disyari’atkannya
atau tidak disyari’atkannya maslahat tersebut.”(6)
B. Jenis-Jenis Maslahat
Sebelum lebih jauh membahas tentang al-mashalih al-mursalah,
perlu dibahas dulu tentang maslahat secara umum. Ada dua sudut pandang
dalam pembagian jenis-jenis maslahat ini, yang pertama dilihat dari sisi
kekuatannya, dan yang kedua dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’.
1. Dilihat Dari Sisi Kekuatannya
Maslahat, yang definisinya dikemukakan di atas, dari sisi kekuatannya terbagi menjadi tiga, yaitu(7)
a) Adh-Dharuriyat (الضروريات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya sangat
diperlukan oleh manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia, jika
maslahat ini tidak ada maka rusaklah kehidupan dunianya, dan di akhirat
ia akan kehilangan kenikmatan dan mendapat siksa. Maslahat jenis ini
terdiri dari penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan
harta. Semua hal yang bisa merusak maslahat jenis ini diharamkan oleh
Allah ta’ala.
Dalam hal ini, Allah melarang murtad
untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa,
melarang minum minuman yang memabukkan untuk memelihara akal, melarang
zina untuk memelihara nasab dan kehormatan, serta melarang pencurian
untuk memelihara harta.
b) Al-Hajiyat (الحاجيات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya akan menghilangkan kesempitan (الحرج) pada manusia. Maslahat jenis ini berada di bawah adh-dharuriyat karena ketiadaannya tidak serta merta menghilangkan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta.
Contoh maslahat jenis ini adalah
disyari’atkannya jual beli, sewa-menyewa, dan berbagai aktivitas
mu’amalah lainnya. Contoh lainnya adalah diberikannya rukhshah
untuk mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir, dibolehkannya berbuka
puasa di bulan Ramadhan bagi orang hamil dan menyusui, diwajibkannya
menuntut ilmu agama, diharamkannya menutup aurat, dan lain-lain.
c) At-Tahsiniyat (التحسينيات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya akan menghasilkan kebaikan dan kemuliaan bagi kehidupan manusia. Maslahat ini berada di bawah adh-dharuriyat dan al-hajiyat, karena ketiadaannya tidak langsung merusak penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta.
Contoh maslahat jenis ini adalah kewajiban thaharah untuk shalat dan pengharaman makanan-makanan yang buruk serta kotor.
Bila terjadi benturan antara adh-dharuriyat, al-hajiyat dan at-tahsiniyat, maka yang didahulukan adalah adh-dharuriyat baru al-hajiyat dan yang terakhir baru at-tahsiniyat. Bahkan, sesama adh-dharuriyat pun urutannya dibedakan lagi, dan penjagaan terhadap agama adalah yang utama. Sebagai contoh, jihad fi sabilillah disyari’atkan untuk menegakkan agama walaupun harus mengorbankan jiwa dan harta. Allah ta’ala berfirman:
وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله
Artinya: “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” [al-Maidah ayat 41]
Ayat di atas menunjukkan keharusan mendahulukan penjagaan terhadap agama atas jiwa dan harta.
2. Dari Sisi Diakui atau Tidak Diakuinya Oleh asy-Syari’
Sedangkan dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’ (pembuat syari’at), maslahat terbagi menjadi 3, yaitu(8):
a) Al-Mashalih al-Mu’tabarah (المصالح المعتبرة)
Yaitu maslahat yang diakui oleh asy-Syari’,
dan terdapat hukum-hukum yang terperinci yang berasal dari nash yang
akan mencapat maslahat ini. Maslahat ini misalnya untuk menjaga agama,
jiwa, akal, nasab, kehormatan, dan harta.
Sebagai contoh, jihad dan hukum bunuh terhadap orang murtad disyari’atkan untuk menjaga diin. Qishash disyari’atkan untuk memelihara jiwa. Pengharaman minuman yang memabukkan dan had terhadap
peminumnya akan memelihara akal. Pengharaman pencurian dan hukuman
potong tangan untuk pelakunya akan menjaga harta. Pengharaman zina dan
hukuman dera bagi pelakunya akan memelihara nasab dan kehormatan.
Kebolehan mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir akan menghilangkan
kesempitan dan kesulitan bagi musafir tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tidak ada
perbedaan pendapat akan kebolehan menggunakan maslahat jenis ini untuk
menunjukkan bahwa penerapan hukum-hukum syari’ah akan mendatangkan
maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan).
b) Al-Mashalih al-Mulghah (المصالح الملغاة)
Yaitu sesuatu yang disangka sebagai maslahat, namun asy-Syari’
menolak hal tersebut, dan menunjukkan hal yang sebaliknya. Misalnya
fatwa Yahya ibn Yahya, seorang ahli fiqih madzhab Maliki terhadap
khalifah ‘Abdurrahman ibn al-Hakam al-Umawi yang telah bersenggama
dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan, ulama tersebut berkata,
“Anda harus berpuasa dua bulan berturut-turut”. Ia tidak mendahulukan
membebaskan budak, ia berkata, “Jika saya memerintahkannya untuk itu
(membebaskan budak), maka itu terlalu mudah baginya dan ia akan
memandang remeh hal tersebut, yang lebih maslahat adalah mewajibkan ia
puasa dua bulan berturut-turut agar ia bisa tercegah dari mengulangi hal
tersebut”. Fatwa ini bathil karena bertentangan dengan hadits Nabi yang
mendahulukan membebaskan budak dari berpuasa dua bulan berturut-turut.
Contoh yang lain adalah berlebih-lebihan
dalam beragama. Sebagian shahabat menyangka bahwa berpuasa terus
menerus, tidak menikah dan tidak tidur di malam hari untuk mengerjakan
shalat akan mendatangkan maslahat bagi mereka, namun hal ini ditolak
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui hadits beliau:
أما والله إنى لأخشاكم الله وأتقاكم له ، لكني أصوم وأفطر ، وأصلي وأرقد ، وأتزوج النساء ، فمن رغب عن سنتي فليس مني
Artinya: “Demi Allah, sesungguhnya
saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di
antara kalian, tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur malam,
dan saya juga menikah dengan perempuan. Barangsiapa yang benci terhadap
sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasai dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu]
Menurut Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, tidak ada khilaf tentang ketidak bolehan menggunakan maslahat jenis ini.
c) Al-Mashalih al-Mursalah (المصالح المرسلة)
Yaitu maslahat yang tidak ada keterangan dari asy-Syari’
tentang diakui atau tidak diakuinya maslahat jenis ini. Untuk maslahat
jenis ini, ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya penggunaannya
sebagai sumber hukum.
C. Kehujjahan al-Mashalih al-Mursalah
1. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Sebagai dalil syar’i, kehujjahan al-mashalih al-mursalah
diperselisihkan oleh para ulama. Mengingat di beberapa referensi yang
saya baca ada perbedaan penisbahan pendapat ulama tentang kehujjahan
al-mashalih al-mursalah, maka untuk mempermudah saya hanya akan
mengambil rujukan dari kitab “al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah” karya Syaikh Mahmud ‘Abdul Karim Hasan.(9)
Di kitab tersebut disebutkan bahwa ulama
ada pendapat tentang hal ini, ada yang menerima kehujjahan al-mashalih
al-mursalah dan ada yang menolak kehujjahannya. Mayoritas ulama
menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah bukan dalil syar’i. Pendapat
ini dinisbahkan kepada imam asy-Syafi’i, sebagaimana yang disebutkan
oleh al-Amidi. Pendapat ini juga disandarkan kepada banyak ulama
Syafi’iyah, misalnya al-Amidi, al-Ghazali dan ‘Izzuddin ibn ‘Abd
as-Salam. Penyandaran ini juga bisa dilihat dari pernyataan yang masyhur
dari asy-Syafi’i, yaitu “man istahsana faqad syarra’a”, dan istihsan yang tercela menurut asy-Syafi’i juga mencakup al-mashalih al-mursalah menurut kalangan Malikiyah. Artinya, pernyataan asy-Syafi’i tersebut menunjukkan asy-Syafi’i tegas menolak al-mashalih al-mursalah sebagai dalil.
Sebagian ulama madzhab Hanabilah juga menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai hujjah, misalnya Ibn Qudamah al-Maqdisi dan Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah berkata, “sesungguhnya al-mashalih al-mursalah
telah membuat syariat dalam agama dengan sesuatu yang tidak diizinkan”.
Demikian pula, sebagian ulama Malikiyah juga menolak penggunaan al-mashalih al-mursalah, misalnya Ibn al-Hajib al-Maliki.
Pendapat yang menyatakan al-mashalih al-mursalah
bukan dalil juga dinisbahkan pada kalangan Hanafiyah. Hal ini misalnya
dikemukakan oleh Ibn Hamam ad-Diin al-Iskandari al-Hanafi, ia berkata,
“dan bagian ini dinamakan al-mashalih al-mursalah, dan pendapat yang terpilih adalah menolaknya (sebagai hujjah)”. Al-mashalih al-mursalah juga tidak digunakan oleh madzhab Zhahiriyah dan Syi’ah Itsna ‘Asyariah.
Di masa sekarang, ulama yang menolak kehujjahan al-mashalih al-mursalah misalnya adalah syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah dan syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah.
Sedangkan pendapat yang menerima al-mashalih al-mursalah sebagai dalil syar’i dinisbahkan kepada imam Malik(10). Demikian pula, al-mashalih al-mursalah
juga dianggap hujjah oleh ulama Malikiyah seperti asy-Syathibi dan
al-Qarafi. Asy-Syathibi bahkan menyatakan bahwa imam Abu Hanifah dan
imam asy-Syafi’i juga menggunakan al-mashalih al-mursalah,
namun pernyataan ini bertentangan dengan yang disampaikan oleh al-Amidi.
Dan yang tepat adalah Abu Hanifah dan asy-Syafi’i tidak menggunakan al-mashalih al-mursalah.
Di masa sekarang, banyak ulama yang menerima kehujjahan al-mashalih al-mursalah,
mereka misalnya adalah Muhammad al-Khudhri Bek, Jad al-Haq ‘Ali Jad
al-Haq, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, ‘Abdul Karim Zaidan, ‘Abdul
Wahhab Khallaf dan Muhammad Ibrahim al-Khafnawi. Al-Buthi bahkan
menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah diterima berdasarkan
kesepakatan shahabat, tabi’in, dan imam yang empat. Namun, syaikh Mahmud
Abdul Karim Hasan membantah pernyataan tersebut.
2. Argumentasi Ulama yang Menolak al-Mashalih al-Mursalah
Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya adalah(11):
a) Mengambil al-mashalih al-mursalah
akan membawa pada penetapan hukum syari’ah sekehendak hati dan
berdasarkan hawa nafsu. Terdapat banyak nash yang melarang penggunaan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
Artinya: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah).” [an-Nisaa’ ayat 59]
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang engkau
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [an-Nisaa’ ayat 65]
Menjadikan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti tidak kembali Allah dan Rasul, dan juga berarti tidak menjadikan Rasul sebagai hakim.
b) Islam adalah diin yang sempurna, sebagaimana firman Allah ta’ala:
اليوم أكملت لكم دينكم
Artinya: “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” [al-Maaidah ayat 3]
وأنزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” [an-Nahl ayat 89]
Dan menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti menunjukkan bahwa nash-nash syar’i masih kurang dan tidak sempurna.
c) Menggunakan al-mashalih al-mursalah
berarti merujuk kepada akal, sedangkan akal pikiran setiap manusia
berbeda-beda. Dan hukum yang lahir daripadanya tidak syar’i, karena ia
menjadikan baik dan buruk atas pertimbangan akal, dan ini bertentangan
dengan kewajiban untuk berhakim hanya kepada Allah, firman-Nya:
إن الحكم إلا لله
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” [al-An’aam ayat 57]
d) Menggunakan al-mashalih al-mursalah akan
menyebabkan hukum syara’ bisa berubah-ubah mengikuti perubahan zaman,
keadaan, tempat dan perbedaan orang-orang yang menerapkannya. Bisa jadi
sesuatu itu haram –berdasarkan pertimbangan maslahat– menurut seseorang
atau di suatu negeri, namun oleh orang lain atau di negeri lain hal itu
boleh saja.
Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang universal dan lestari sepanjang masa bagi umat Islam hingga hari kiamat.
e) Al-mashalih al-mursalah
berada di tengah-tengah dua kutub, yaitu maslahat yang diakui oleh
asy-Syari’ dan maslahat yang tidak diakui. Karena tidak diketahui apakah
maslahat dalam al-mashalih al-mursalah ini diakui oleh asy-Syari’ atau tidak, maka tidak boleh berhujjah dengannya.
Al-Amidi berkata, “Al-mashalih al-mursalah
diragukan keadaanya apakah termasuk maslahat yang diakui oleh
asy-Syari’ atau yang tidak diakui. Dan mengutamakan salah
satunya(12)tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu berhujjah dengannya
tidak bisa dilakukan, karena tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa ia
termasuk maslahat yang diakui oleh asy-Syari’.”
f) Mengambil al-mashalih al-mursalah
yang tidak didukung oleh nash syar’i akan menyebabkan lepasnya dari
hukum-hukum syari’ah dan malah akan melahirkan kezaliman atas nama
maslahat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penguasa yang zalim.
Ibn Taimiyah berkata: “Dari sisi
maslahat, ia akan menghasilkan kekacauan yang besar dalam urusan agama.
Banyak pemimpin dan ahli ibadah melihat suatu maslahat kemudian kemudian
mengerjakannya atas dasar ini. Padahal diantara maslahat tersebut ada
yang terlarang menurut syari’ah yang tidak mereka ketahui.”
3. Argumentasi Ulama yang Menggunakan al-Mashalih al-Mursalah
Ulama yang menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil juga mempunyai argumentasi, diantaranya(13):
a) Sesungguhnya kehidupan terus
berkembang, dan cara manusia untuk memenuhi kemaslahatannya terus
berubah di setiap zaman dan tempat. Jika hanya membatasi diri pada
hukum-hukum yang telah diakui atau terdapat dalam nash, maka banyak
sekali maslahat manusia yang akan terhalangi, dan pensyari’atan akan
menjadi jumud. Hal ini akan melahirkan bahaya yang besar dan tidak
sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu mewujudkan maslahat dan
menghilangkan mafsadat.
b) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menerima pernyataan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika
beliau mengutusnya ke Yaman, bahwa ia akan berijtihad dengan akal
pikiran (ra’yu), jika hukumnya tak terdapat di Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
c) Jika mengikuti ijtihad sebagian
shahabat dan orang-orang setelah mereka, maka bisa ditemukan bahwa
mereka berfatwa dalam banyak hal berdasarkan maslahat yang terpilih,
tanpa membatasi diri hanya pada maslahat yang langsung diakui oleh nash.
Dan kenyataan adanya ijtihad semacam ini tidak diingkari oleh satu
orang pun di antara mereka.
Contoh ijtihad semacam ini misalnya adalah:
- Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan lembaran-lembaran
al-Qur’an yang terpisah-pisah pada satu mushaf berdasarkan saran dari
‘Umar radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah,
sesungguhnya ini adalah kebaikan dan maslahat bagi Islam.”
- ‘Umar radhiyallahu ‘anhu membatalkan bagian zakat bagi muallaf,
padahal bagian zakat tersebut ada dalam nash. Hal ini dilakukan oleh
beliau dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi hajat untuk melunakkan
hati mereka (ta’lif quluubihim) setelah kejayaan Islam.
- ‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga menggugurkan (tidak melaksanakan) had untuk pencurian di masa paceklik, padahal nash-nash tentang had pencurian berlaku umum.
- Beliau juga menetapkan ucapan thalaq tiga yang diucapkan dalam satu
waktu sebagai thalaq tiga, agar orang-orang tidak begitu mudah
melakukannya.
- ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menetapkan mushaf al-Qur’an hanya pada
satu huruf(14), dan membaginya ke setiap negeri, kemudian beliau
membakar mushaf-mushaf yang lain.
d) Sesungguhnya maslahat –jika
bersesuaian dengan tujuan syari’ah–, maka mengambil maslahat tersebut
akan sesuai dengan tujuan syari’ah dan mengabaikannya akan mengakibatkan
terabaikannya tujuan syari’ah. Dan mengabaikan tujuan syari’ah adalah
perkara batil dan tidak boleh dilakukan.
4. Syarat-Syarat Penggunaan al-Mashalih al-Mursalah Bagi Ulama yang Menggunakannya
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menggunakan al-mashalih al-mursalah, berikut syarat-syarat tersebut(15):
a) Maslahat tersebut harus sesuai dengan
tujuan syari’ah, tidak bertentangan dengan pokok-pokok syari’ah dan
tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i.
b) Maslahat tersebut harus bisa diterima
oleh akal bahwa ia memang mengandung maslahat secara pasti, bukan hanya
berupa dugaan apalagi sangkaan yang lemah. Artinya penerapan maslahat
tersebut benar-benar harus menghasilkan manfaat dan menghindarkan dari
bahaya.
Dari sini, tidak dibenarkan mencabut hak
thalaq dari seorang suami dan menyerahkan hak tersebut kepada hakim. Ini
karena hal tersebut bertentangan dengan nash, dan tidak ada maslahat
yang benar-benar terwujud dari penerapan hal ini.
c) Maslahat yang dihasilkan dari penerapan al-mashalih al-mursalah
ini harus berlaku umum untuk seluruh manusia, bukan hanya dirasakan
oleh individu atau kelompok tertentu, hal ini karena hukum syara’
diterapkan untuk seluruh umat manusia. Dari sini, tidak sah penerapan
kemaslahatan yang hanya berlaku bagi pemimpin, keluaga dan orang
dekatnya saja.
Sebagai contoh, tidak boleh membunuh
seorang muslim yang dijadikan perisai oleh orang kafir ketika bertempur
dalam benteng, karena masih mungkin untuk mengepung orang kafir
tersebut, dan tindakan orang kafir tersebut tak akan sampai membuat
negeri muslim tertaklukkan.
D. Penutup
Perbedaan pendapat ulama terhadap kehujjahan al-mashalih al-mursalah
ini paling tidak sudah sedikit menunjukkan kekayaan fiqih Islam, yang
jika terus digali tentu kita akan tercengang dengan luasnya samudra
kajian fiqih Islam tersebut.
Dari tulisan singkat saya ini, kita juga
bisa melihat bahwa masing-masing pihak telah mengajukan berbagai
argumentasi untuk menguatkan pendapat masing-masing, yang bagi orang
awam tentu sulit untuk memilih dan menentukan argumentasi mana yang
terkuat. Di sini, saya tidak mencoba men-tarjih pendapat mana
yang terkuat dan pendapat mana yang lemah, karena untuk melakukan hal
tersebut perlu keilmuan yang mencukupi dan energi yang luar biasa
dikuras untuk mengkaji satu persatu argumentasi masing-masing pihak.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan semakin menambah semangat kita untuk mengkaji fiqih Islam, baik ushul maupun furu’-nya.
*****
Daftar Pustaka
‘Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh. ‘Amman: Dar al-Bayariq.
Al-Amidi, Abu al-Hasan. tt. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: al-Maktab al-Islami.
Al-Ghazali, Abu Hamid. tt. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Madinah: Syirkah al-Madinah al-Munawwarah li ath-Thiba’ah.
Al-Ifriqi, Ibn Manzhur. 1414 H. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir.
Az-Zuhaili , Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.
Hasan, Mahmud ‘Abdul Karim. 1995. Al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah. Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyah.
Khallaf, ‘Abdul Wahhab. tt. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
*****
Catatan Kaki:
1. Lihat pembahasan shalaha (صلح) di Lisanul ‘Arab juz 2 hal. 516-517.
2. Lihat pembahasan rasala (رسل) di Lisanul ‘Arab Juz 11 hal. 281-285.
3. Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, terbitan Syirkah al-Madinah al-Munawwarah li ath-Thiba’ah, Juz 2 hal. 481. Redaksi aslinya: ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولا بالاعتبار نص معين.
4. ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, terbitan Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, hal. 84. Redaksi aslinya: المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها او الغائها.
5.Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, terbitan Dar al-Fikr, Juz 2 hal. 757. Redaksi aslinya: الأوصاف
التي تلائم تصرفات الشارع ومقاصده ولكن لم يشهد لها دليل معين من الشرع
بالاعتبار أو الإلغاء ويحصل من ربط الحكم بها جلب مصلحة أو دفع مفسدة عن
الناس.
6. Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, terbitan Dar al-Bayariq, hal. 152. Redaksi aslinya: المصالح التي لم يرد من المشرع دليل خاص بها ويشهد لها بالمشروعية أو عدم المشروعية.
7.Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 754-756 dan Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Jilid 2 hal. 348-351.
8.Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 752-754; al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah hal. 150-153; al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 36-37.
(9) Lihat al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 43-49.
(10)Al-Amidi berkata, “Jika shahih penukilan dari Imam Malik (bahwa beliau menggunakan al-mashalih al-mursalah), maka menurutku beliau tidak mengatakan hal tersebut untuk semua jenis maslahat, tapi hanya pada maslahat yang sifatnya dharuri, kulli dan pasti kemaslahatannya.” Lihat al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Juz 4 hal. 160.
(11)Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 761-762; al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah hal. 158-159; al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 68-69; Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Jilid 2 hal. 361-362.
(12) Maksudnya mengambil kesimpulan bahwa maslahat yang ada adalah
maslahat yang diakui oleh asy-Syari’. Hal ini tidak bisa dilakukan
karena memang tidak ada petunjuk untuk mengarahkan pada kesimpulan
tersebut.
(13)Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 762-764; al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah hal. 155-156; al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 50-68; Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Jilid 2 hal. 360-361.
(14) Dalam kajian ‘ulumul Qur’an, disebutkan bahwa al-Qur’an
diturunkan dalam tujuh huruf. Untuk mendalami tema ini, silakan lihat
kitab al-Manaar fii ‘Uluumil Qur’an karya Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan dan Mabaahits fii ‘Uluumil Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qaththan.
(15)Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 799-800.
*****
Diambil dari blogger lain,
*******